Tuesday, May 06, 2008

Debat Agama: Agama Is What You Call Agama?

T = Dear Bung Leo, anda berbicara tentang Akibat
Agama..., Efek Agama..., dll. Tapi tidak pernah
membahas apa definisi AGAMA itu. Bagaimana mungkin
anda membahas sesuatu dimana anda sendiri tidak tahu
apa definisinya, ini berarti anda berbicara tentang
sesuatu yang anda tidak tahu tau dan tidak anda
kuasai.

J = Well,... saya rasa saya SUDAH mendefinisikan apa
itu "agama". Agama is apa yang disebut oleh orang
sebagai "agama". Termasuk disini yang bilang agamanya
itu adalah agama "Karuhunan". Atau, ada juga yang
bilang punya agama "Sunda", agama "Leluhur". Termasuk
juga yang agamanya itu "Atheisme". So,... agama is apa
yang PENGANUTNYA itu bilang sebagai AGAMA.

T = AGAMA, terdiri dari 5 di Indonesia, tidak semua
AGAMA mengajarkan satu Tuhan, Ada agama yang memiliki
3 Tuhan, Ada juga agama yg tidak percaya Tuhan (Semi
Ateis), Ada agama yg memiliki Kitab, Ada juga yang
tidak memiliki Kitab, Apakah ustad itu simbol agama ?
Apakah pendeta itu simbol agama ? dsb, dsb...

J = Itulah BEJAD-NYA politik agama di Indonesia.
Agama2 yang ada di dunia itu jumlahnya hampir TIDAK
TERHITUNG. Nah, ini ada negara yang keblinger (baca
Indonesia), dan dengan SEMENA-MENA menetapkan bahwa
hanya ada 5 agama yang diakui.

Lalu, siapa yang "gila" disini ? Yang gila ada politik
agama di Indonesia. Negara itu TIDAK BERHAK menentukan
agama2 apa saja yang bisa dianut oleh warganya. Agama
itu TIDAK BERHAK menentukan agama2 mana saja yang
benar dan yang salah. Negara itu TIDAK BERHAK untuk
menentukan bahwa warganya itu harus beragama. It
doesn't work that way.

Yang jelas, di dunia ini agama2 itu LEBIH dari 5 itu
yang KONON diakui sebagai agama "Sah" oleh Negara
Indonesia. Lha, emangnya ada agama sah dan tidak sah ?
Emangnya ada agama yang halal dan agama yang haram ???

Agama itu merupakan PILIHAN dari setiap pribadi
manusia. Itu HAM. Hak Azasi Manusia untuk beragama
ataupun untuk TIDAK beragama. Lalu, agama apapun yang
mau dianut oleh manusia, itu juga HAM. Mau pilih salah
satu agama yang "diakui" oleh Negara Indonesia, ya
boleh saja. Mau ikut agama yang tidak diakui oleh
Negara Indonesia, ya bisa saja, so what ? Mau BIKIN
AGAMA BARU, ya boleh saja. Itu HAM, Hak Azasi dari
tiap manusia.

Negara itu TERPISAH dari agama2. Agama2 itu mengatur
dirinya sendiri DAN tidak diurusin oleh negara. Nah,
Indonesia ini kan negara yang punya kebijakan "gila"
juga. Masa ada Departemen Agama ???

Departemen Agama itu aslinya DEPARTEMEN URUSAN HAJI.
Nah, kalau seperti itu masih bisa diterimalah, karena
itu menyangkut ngurusin transportasi orang yang pulang
pergi ke Tanah Suci .

Tapi akhirnya jadi KEBLINGER dan menjadi Departemen
Agama (salah satu departemen yang paling KORUP di
Indonesia,... saingan dari Departemen Kehakiman, hmmm
hmmm hmmm...). Itu salah kaprah, dan siapapun yang
menjadi pemimpin Indonesia di masa depan harus koreksi
itu. Agama2 harus diatur oleh dirinya sendiri DAN
bukan oleh negara.

T = Jadi apa definisi AGAMA itu.. Ayo kita pecahkan
permasalahan dengan cara yang benar.. dengan mencari
satu definisi kata dari analisa sederhana.

J = Agama adalah apa yang disebut oleh penganutnya
sebagai agama. Jadi, orang2 Ahmadiyah itu bilang
agamanya adalah Islam Ahmadiyah. Itu AGAMA MEREKA,...
dan negara, MUI, atau orang2 dari sekte Islam lainnya
TIDAK BERHAK untuk menteror orang2 Ahmadiyah. Apalagi
membakar rumah2 ibadah mereka.

Kelakuan orang2 yang melakukan kekerasan terhadap
penganut Islam Ahmadiyah adalah tindakan
PIDANA/KRIMINAL.

Para pemimpin agama Islam non-Ahmadiyah yang
menyerukan "jihad" terhadap Ahmadiyah seharusnya
dituntut secara PIDANA. Itu tindakan kriminalitas.

Agama ada apa yang disebut oleh penganutnya sebagai
agama. Dan orang2 lain TIDAK BERHAK untuk mencap agama
yang didefinisikan oleh penganutnya itu sebagai
"sesat". Well, benernya boleh, kalau masih sebagai di
mulut saja. Tapi kalau sudah melakukan pengrusakan
fisik, itu PIDANA. Jelas kannnn ???

T = Bahkan anda juga belum membahas apa kata GILA
menurut definisi anda, karena ada juga orang Jenius
juga dikatakan sebagai orang GILA..!!

J = Gila is TIDAK WARAS. Saya rasa saya SUDAH
mendefinisikan itu. Please baca lagi yah !

T = Ada kemungkinan Bung Leo ini sering sekali
menggunakan (insting, Instuisi,Pengalaman,Spiritual)
atau bisa digolongkan kemampuan Otak Kanan (EQ), tapi
anda jarang menggunakan Otak Kiri (IQ). Jadi sebaiknya
gunakan langkah-langkah analisa yg terstruktur dalam
membahas sesuatu. Gunakan bukti-bukti empiris, kalau
bisa dalam bentuk tabel.

J = Kalau saya pakai TABEL untuk menulis, gak ada
orang yang akan baca. Anda juga GAK BAKAL BACA.

T = Man.. Kita hidup di dunia nyata, dan harus
berbicara fakta lho.. bukan angan2 atau logika2
kepercayaan yang didapat dari pengalaman2 pribadi..
Pengalaman yang anda alami berbeda dengan yang orang
lain alami...

J = Pengalaman itu memang BEDA2. Tetapi kita bisa
menarik BENANG MERAH. Ada suatu hal yang paralel. Saya
melihat dari sisi ini. Orang lain melihat dari sisi
itu. Bahkan simbol2 (kata2) yang saya gunakan itu bisa
juga berbeda dengan simbol2 (kata2) yang digunakan
oleh orang lain.

Tetapi, sebenarnya ESSENSI (Hakekat) dari yang
dibicarkaan (diungkapkan) itu SAMA SAJA. Kita bisa
mengalami "GOD" karena kita memang berhubungan dengan
God secara Ruh. Nah,... saya memakai kata2 itu.

Ada orang lain yang mengungkapkan pengertian
(pengalaman) itu dengan menggunakan kata2 berbeda
(simbol2 berbeda). Tetapi saya akan TAHU bahwa yang
dibicarakannya itu hal yang SAMA. Dan orang itu juga
TAHU. So,... nyambung kan ???

Kalau anda mau TERBUKA, maka bisa nyambung. Kalau anda
mau tertutup seperti para ustads di MUI itu, ya cappe
dehh !!

T = Pengalaman adalah Guru, betul sekali.. tapi
faktanya, pengalaman adalah Guru untuk diri kita
sendiri.. Saran saja.. Jika ingin menjadi Guru bagi
orang lain.. Jangan gunakan Pengalaman Pribadi atau
Pengalaman Orang Lain.. Karena Guru yang hebat
bukanlah murid dari seorang Guru.. OBYEKTIF..
OBYEKTIF.. bukan SUBYEKTIF..

J = That's what I've been doing. Segala pengalaman
SUBYEKTIF yang dikumpulkan dan disharing setiap hari
itu kan namanya DATA. Dan data itu adalah data yang
OBYEKTIF. Namanya DATA PENGALAMAN SPIRITUAL. Dan itu
100 % obyektif... -- Kalau saya rekayasa data2 itu,
namanya baru subyektif. Tetapi, karena datanya itu
datang dari rekan2 semua, maka saya OBYEKTIF.

Friday, January 04, 2008

Neoliberalisme – Kolonisasi Homo Ekonomikus dan Homo Finansialis

Saya akan memulai dengan pertanyaan what is neoliberalism? Apa itu neoliberalisme? Ini bisa membuat saya balik ke tahun 1920-an ketika istilah itu muncul. Tapi istilah waktu itu berbeda dengan yang dipahami sekarang. Dari sejarah yang sangat panjang itu, apa itu neoliberalisme, maka jawaban saya kurang lebih, neoliberalisme adalah kolonisasi atas dua bidang.

Pertama, neoliberalisme merupakan kolonisasi homo ekonomikus atas dimensi-dimensi lain hidup manusia. Jadi, instink kita untuk kalkulasi untung-rugi menurut seorang kapitalis itu sedang mengkolonisasi politik, pendidikan, cara kita berpikir, bahkan berelasi dengan orang. Sekarang aspek ekonomikus itu yang sedang mengkolonisasi aspek lain dalam diri manusia. Jadi, dimensi ekonomi dalam diri kita itu mengusai, baik aspek biologis, aspek sosial, aspek kultural, aspek politik, aspek hukum dan sebagainya. Dengan demikian, neoliberalisme itu sesungguhnya merupakan faham tentang gambaran manusia—siapa itu manusia. Siapa itu manusia? Manusia itu (senyatanya-ed) adalah makhluk spiritual, makhluk biologis, makhluk politis, makhluk kultural dan sebagainya. Namun, menurut neoliberalisme, jawabannya bukan! Manusia itu pada intinya adalah makhluk ekonomi. Implikasinya besar sekali. Itulah mengapa banyak aspek-aspek kultural yang kemudian mengalami marketisasi. Aspek-aspek sosial, aspek-aspek politik, pendidikan dan sebagainya mengalami “ekonomisasi”. Mengapa? Kalau dibelakangnya tidak ada sebuah pengandaian bahwa ekonomi itu lebih tinggi dari yang lain, tentu tidak akan menjadi seperti itu.

Kedua, kolonisasi homo finansialis—menyangkut masalah keuangan—atas homo realis (nyata). Homo ekonomikus itu berhadapan dengan kalkulasi untung rugi, uang, makanan, perumahan—bagaimana mencukupi kebutuhan hidup. Nah, apa yang terjadi pada lapis kedua: neoliberalisme adalah kolonisasi homo finansialis—menyangkut masalah keuangan—atas homo realis (nyata)—makanan, minuman. Jadi, logika uang mengkolonisasi apa saja yang real, konkret. Di Cibaduyut, pabrik sepatu itu adalah real, produksi real; sedangkan yang finansialis adalah Bursa Efek Jakarta. Jadi hal yang menyangkut soal keuangan mengkolonisasi ekonomi yang konkret. Ekonomi keuangan mengkolonisasi ekonomi real. Itulah mengapa sekarang di koran-koran kita membaca ratapan bahwa di Indonesia sektor real-nya tidak maju. Itu terjadi karena yang berkembang adalah homo finansialisnya.

Karena istilah neoliberalisme itu seringkali disalahpahami dengan istilah tahun 1930, maka seringkali juga bisa disebut neoliberalisme itu adalah fundamentalisme pasar. Fundamentalisme pasar artinya logika pasar diterapkan pada semua hal; cara berpikir pasar itu tidak lagi menjadi salah satu prinsip untuk mengorganisasi hidup, melainkan dipakai untuk mengorganisasi seluruh hidup. Bagaimana itu terjadi? Itu terjadi karena akumulasi laba dari para kapitalis itu mandek. Cara untuk melakukan akumulasi yang lebih besar adalah mengkolonisasi semua aspek kehidupan dengan logika pasar. Itulah mengapa timbul gelombang privatisasi.

Sebenarnya ekspansi homo ekonomikus ke homo-homo lain itu sesuatu yang biasa dalam sejarah—karena kalau orang memiliki agenda, itu ekspansif. Tetapi masalahnya begini: ini—kolonisasi homo ekonomikus-ed—hanya akan menjadi masalah sangat serius ketika akses pada kebutuhan dasar—pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perumahan, pakaian—masuk ke dalam logika pasar. Dasar itu artinya, tanpa makan kita tidak bisa hidup. Itu dasar. Mobil, itu bukan dasar, karena kalaupun toh kita tidak punya mobil, kita tetap bisa hidup. Tetapi kalau tidak punya air dan tidak punya makanan, itu dasar, karena tanpa minum dan makan pasti kita tidak bisa hidup. Itu pasti.

Jadi, ini semua akan menjadi masalah serius hanya jika akses pada hal-hal dasar dan kebutuhan dasar itu tadi masuk ke dalam logika pasar. Perumahan, makanan, air itu bukan lagi hak asasi, tetapi tergantung kepada kemampuan daya beli—punya uang atau tidak. Makanan dan air itu adalah kebutuhan dasar. Artinya, tanpa makanan dan tanpa minum kita akan mati, titik. Karena dasar itulah maka dinamakan hak asasi. Hak asasi itu artinya anda punya duit atau tidak, anda berhak memperoleh makanan dan minuman. Kalau akses terhadap minuman dan makanan itu ditentukan oleh daya beli—punya atau tidak punya duit—maka menjadi masalah. Jadi, sekali lagi, itu menjadi masalah serius ketika akses orang terhadap minuman, kesehatan dan makanan—basic need—tergantung bukan lagi pada hak asasi, melainkan pada daya beli—kemampuan untuk membeli. Kalau saya bisa membeli, saya bisa mendapatkan lingkungan hidup yang paling sehat, tetapi kalau tidak bisa maka akan mendapatkan lingkungan hidup yang paling buruk. Jika saya memiliki daya beli saya bisa memperoleh seluruh makanan yang ada di bawah langit, tetapi jika tidak saya tidak akan bisa makan apapun juga.

Sekali lagi masalahnya adalah, ini menjadi masalah serius, karena akses ke bidang-bidang lain, seperti politik, hukum dan sebagainya sangat tergantung pada daya beli. Dengan demikian, “tiket” untuk bisa makan dan mimum itu bukan lagi hak asasi manusia, melainkan daya beli. Orang disebut miskin karena dia tidak memiliki daya beli, titik! Jadi tidak usah meromantisasi bahwa orang miskin itu miskin jiwanya, miskin sukmanya. Ya, fine.. but the first of all... orang itu disebut miskin karena tidak punya daya beli untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Jadi gagasan neolibiberalisme itu memiliki kaitan yang sangat problematis dengan persoalan poverty (kemiskinan). Intinya adalah: karena akses pada kebutuhan dasar hidup bukan lagi masalah hak asasi, melainkan karena masalah daya beli. Hubungannya dengan masalah kemiskinan ada di situ.

Ada suatu masalah yang lebih besar lagi—kolonisasi homo finansialis atas homo realis tadi itu kurang lebih ini datanya:

Tahun 1971 sekatar 90% dari transaksi finansial global per hari 1,4 milyar dolar. Itu terkait dengan kinerja sektor real. Hanya 10% untuk bermain-main dengan saham atau valas dan sebagainya. Tahun 1990 sudah mulai terbalik. Tahun 2000 sekitar 95% dari transaksi finansial global per hari 1,5 triliun dolar, itu berupa transaksi spekulatif yang 40% darinya spekulasi kecepatan mondar-mandir 1—7 hari. 40% darinya memiliki kecepatan kurang dari 2 hari.

Implikasi dari neoliberalisme itu begini: segala bentuk proyek bersama—seperti kita ingin membangun sebuah bangsa—membentuk Indonesia—atau kita ingin membentuk sebuah komunitas, atau kepentingan publik—lingkungan sehat, memecahkan kemiskinan. Apa yang tragis adalah: segala macam proyek bersama itu tidak lagi mungkin dikejar secara sengaja. Usaha membangun Indonesia tidak bisa lagi dikejar secara sengaja. Segala macam proyek bersama tidak bisa lagi dikejar secara sengaja, termasuk lingkungan hidup yang sehat, tidak bisa lagi dikejar secara sengaja.

Itu agak subtil, kenapa? Lingkungan hidup yang baik, anak-anak sekolah 9 tahun hanya akan terjadi jika (program tersebut-ed) menguntungkan. Jika tidak menguntungkan, kita tidak tahu apakah akan terjadi atau tidak. Jadi, bahasanya: seperti Indonesia, atau lingkungan hidup yang sehat atau anak-anak sekolah 9 tahun itu can no longer be persuade intentionally—tidak mungkin dituju secara langsung, melainkan harus melingkar-lingkar dulu, apakah menguntungkan atau tidak. Apa yang mengerikan dalam neoliberalisme adalah: lingkungan hidup yang sehat, pembentukkan bangsa Indonesia dan sebagainya tidak bisa lagi dikejar secara sengaja.

Oleh sebab itu, lingkungan hidup yang sehat, wajib belajar 9 tahun, itu tidak mungkin bisa lagi dikejar secara sengaja sebagai proyek kolektif. Mengapa? Kira-kira begini: kalau lingkungan yang sehat itu menguntungkan homo ekonomikus, ya bagus, tapi kalau tidak terjadi, itu memang bukan tujuan homo ekonomikus. Tujuan homo ekonomikus itu adalah mencari laba, bukan menciptakan lingkungan yang sehat. Sama juga dengan pembantukan bangsa Indonesia. Kalau bangsa Indonesia terbentuk, itu bagus, tetapi kalau tidak terbentuk, itu juga bukan tujuan kami datang ke sini sebagai investor. Itu argumen saya tentang hubungan Indonesia dengan globalisasi.

Bagi para pemain global, mereka tidak perduli apakah Indonesia akan terbentuk sebagai bangsa atau tidak. They don’t care. Orang seperti Bill Gates atau George Soros dan lainnya itu they don’t care, they don’t care apakah Indonesia akan terbentuk atau tidak. Apakah bangsa Indonesia itu terbentuk atau tidak, they don’t care. Kalau terbentuk ya syukur, tetapi kalau tidak terbentuk, itu bukan tujuan kami sebagai para pemain global. Begitu kira-kira. Itulah mengapa, menurut para neolib nasionalisme, patriotisme dan lainnya itu rubbish. Proyek bersama untuk mengentaskan ini dan itu adalah rubbish. Sekarang mulai masuk akal. Atau seandainya pun pembentukkan bangsa Indonesia dianggap berguna, tujuannya tidak lain adalah supaya ada pangsa pasar.

Kalau situasi pendidikan, kondisi pendidikan, kesehatan, sanitasi, perumahan, politik, hukum, museum, kebudayaan dan sebagainya tidak lagi dan bukan lagi masalah human rights, tetapi masalah daya beli, tentu saja bebas dari kemiskinan juga bukan masalah human right, tetapi masalah daya beli. Bisa saja kita mengumumkan dengan jargon yang sangat tinggi tentang kebebasan, kebebasan, tetapi in the end, untuk gagasan neoliberalisme tiket untuk mendapatkan kebebasan itu adalah ada tidak adanya daya beli. Itulah mengapa untuk negara-negara yang sungguh-sungguh kaya gagasan neoliberalisme tidak menjadi masalah. Tetapi untuk sebuah negara—yang menurut World Bank November 2006 itu 108,78 juta penduduk itu dibawah 2 dolar—this is a big, big problem. Karena tiket untuk sanitasi, tiket untuk pendidikan, tiket untuk akses hukum dan lainnya itu tidak dianggap sebagai masalah human rights, tapi daya beli. Maka untuk negara yang sebagian penduduknya punya daya beli no problem, tetapi untuk sebuah negara yang sepauh penduduknya itu sangat miskin, tentu saja menjadi masalah sangat besar. Dan itulah mengapa anda perlu hati-hati berbicara soal hak asasi. Hak asasi sipil dan politik itu sungguh lain dengan hak asasi ekonomi dan sosial. Apa yang berkembang di Indonesia itu adalah sipil dan politik, belum menyentuh masalah akses ekonomi dan hak ekonomi dan sosial lainnya.

Gagasan neolib itu kurang lebih seperti ini:

Agenda Pengentasan Kemiskinan → Logika Pasar Bebas Orang Miskin

Ada agenda menghapus kemiskinan, lalu akan lewat apa yang disebut sebagai logika pasar bebas, baru setelah itu sampai pada orang miskin. Jadi bukan langsung, melainkan akan lewat jalan melingkar, yaitu lewat logika pasar bebas dulu. Menurut argumen para neoliberal, orang miskin itu hanya terentaskan kalau melalui logika pasar bebas. Jalan melingkar inilah yang nanti akan kita lihat, bahwa ini akan membuat pengentasan kemiskinan itu hanya sebagai hasil sampingan. Side effect saja, dan tidak bisa dikejar secara sengaja. Skema di atas adalah skema yang sangat khas dari pendekatan neoliberalisme terhadap so many problem, terhadap banyak masalah: entah tentang poverty reduction, entah tentang pembentukan bangsa Indonesia, entah pendidikan anak-anak, entah tentang lingkungan hidup yang sehat. Agenda neoliberalisme yang khas tidak akan langsung, melainkan akan selalu melalui logika pasar.

Sekarang saya akan contohkan langsung. Di Indonesia ada agenda penghapuskan kemiskinan, dan itu menjadi flat form Yudhoyono (SBY), bukan?! Kalau anda baca koran, ada pembicaraan global competitiveness, lalu soal capital market, lalu ada SBI, ada SUN, ORI, ect. Sertifikat Bank Indonesia, surat utang negara, kemudian ORI, lalu ada business confidence (kepercayaan bisnis), ect. Hal-hal Itulah yang dibicarakan tentang ekonomi Indonesia setiap hari di koran-koran. Jadi, ketika membicarakan ekonomi, itulah yang dibahas.

Jadi yang diotak-atik sebagai masalah ekonomi adalah itu. Kalau misalnya saja kemiskinan terentaskan, itu hanya sebagai efek sampingan dari kinerja yang dibahas tadi. Itu poin yang sangat sentral. Penjelasannya begini: daripada langsung menyelesaikan orang miskin, maka energi ekonomi, energi politik, energi hukum itu dikonsentrasikan untuk hal-hal itu tadi. Dengan begitu, masalah kemiskinan sesungguhnya tidak akan tersentuh. Itulah logika yang lugas tentang neoliberalisme. Itu adalah masalah akumulasi finansial. Itu bukan soal pabrik atau apa, itu soal indeks harga saham. Bukan soal petani, tetapi soal indeks harga saham naik berapa poin. Maka yang terjadi in state of orang miskin itu solved, seluruh energi akan terpenjara pada masalah-masalah seperti yang dibahas di koran tadi. Dan yang terjadi adalah akumulasi finansial, yang tidak ada kaitannya dengan masalah kemiskinan. Itulah makanya seluruh ratapan kita sama sekali tidak ada kaitannya dengan sektor pertanian, manufaktur dan lain-lain. Ekonomi finansial growth­-nya luar biasa tinggi, sementara pertanian growth-nya minus 0,5 (kwartal pertama 2007).

Itulah yang saya sebut dua lapis neoliberalisme: kolonisasi homo ekonomikus atas homo-homo lain, dan yang kedua kolonisasi homo finansialis atas homo realis. Apa yang tragis? Walaupun tidak ada kaitannya—tetapi jika terjadi kolaps dalam ekonomi finansial, seperti yang terjadi pada tahun 1997—semua terkena dampaknya. Bukti retorik saja, bukti wacana saja, bahwa itu (ekonomi finansial) yang menjadi konsentrasi sunggug-sungguh. Baca saja koran, rubrik bisnis finansial, ketika bicara soal ekonomi semuanya hanya membahas kepercayaan bisnis yang tidak ada. Sekarang saya tanya, apa sih kaitannya antara kepercayaan bisnis atau capital market dengan orang yang hidup di bawah 8.000? Nothing! Meminjam istilah Karl Polanyi, itulah kondisi, baik ekonomi, politik, hukum dan sebagainya yang disebut sebagai disembeded (tercerabut). Artinya, ekonomi finansial tidak ada kaitannya dengan masalah kemiskinan dan seterusnya. Seluruh energi politik, hukum, uang tidak ada kaitnnya dengan concern dan suka duka orang-orang biasa. Kalau jumlahnya kecil sekali, perhaps there is no problem, urgently. Tetapi kalau jumlahnya 108,78 juta, maka itu mengerikan. Karena itu, dalam cuaca neoliberal sebaiknya kita tidak berharap terlalu banyak kepada pemerintah maupun investor besar, karena rutenya pasti akan melewati proses antara—yaitu logika pasar. Pada akhirnya energi kita hanya akan habis dalam proses antara terebut.

Implikasinya apa untuk agenda-agenda riset? Cukup pasti, bahkan riset tentang kemiskinan pun tidak bisa lagi hanya teoretis, juga tidak bisa hanya praktis. Karena, seperti sudah ditunjukan tadi, “the devil” itu bukan hanya di aksi, bahkan di dalam premis yang teoretis sekali. Gagasannya tentang manusia sendiri merupakan gagasan mistaken. Saya punya kesimpulan sementara bahwa homo ekonomikus itu tidak ada! Homo ekonomikus itu adalah pengandaian metodologis yang dianggap sebagai kodrat manusia. Jadi manusia ekonomi itu tidak ada dalam kenyataan. Manusia ekonomi itu hanya perangkat metodologis untuk berpikir. Jika itu diperlakukan sebagai kodrat manusia—sebagaimana halnya neoliberalisme—itu salah total! Tetapi untuk menemukan itu anda harus tahu filsafat, tahu epistemologi dan melacak lagi ke abad XV, XVI, XVII, bagaimana Plato, Aristoteles, Adam Smith, Karl Polanyi dan sebagainya. Tentu saja kita harus bersinergi pada berbagai sayap, sebab masalahnya tidak akan selesai pada tingkat teoretis, dan sebagaimana masalahnya tidak akan selesai hanya pada tingkat praktis saja.

Pembongkaran terhadap persoalan itu besar sekali. Implikasinya untuk riset itu paling tidak tiga level: level teoretis, policy dan aksi. Misalnya: saya kasih contoh bagaimana riset teoretis yang memiliki kaitan langsung dengan masalah-masalah tersebut. Pertama, riset teoretis dikonsentrasikan pada tipe ekonomi politik yang sedemikian terobsesi dengan disembeded economy? Pertanyaannya, mengapa sampai begitu? Itu adalah kawasan yang sama sekali belum tersentuh di Indonesia. Kedua, dalam cuaca neoliberal berbagai proyek bersama itu tidak mungkin lagi dikejar secara sengaja. Misalnya pembentukan bangsa Indonesia, itu tidak lagi bisa dikerjar secara sengaja. Lingkungan hidup yang baik, pendidikan anak, itu hanya diperlakukan sebagai hasil sampingan dari logika pasar. Artinya, the collapse of the public! Apa yang disebut sebagai publik itu collapse. Untuk itu, kita memerlukan strategi berpikir, strategi riset untuk reviving, menghidupkan kembali publik. Karena, sekarang yang publik itu dianggap najis—“ah, itu sosialis”.

Tetapi saya berani bertaruh. Jika agenda para neolib adalah minimalisasi peran negara, pemerintah, coba sekarang kita hapuskan pemerintah, pada akhirnya mereka juga akan membutuhkan suatu badan publik entah namanya apa. Maka apa yang disebut sebagai republik is impossible to be delete. Tetapi sekarang bagaimana caranya reviving dan cara menghidupkan kembali. Itu saya sudah berpikir enam tahun ini dan tidak mudah, bahkan pada taraf discourse pun—pada taraf logika dan strategi berpikirnya—karena para neoliberal akan mengatakan bahwa nasionalisme itu rubbish. Tentu saja kemudian hilang semua yang publik. Bahkan istilah-istilah yang menggunakan publik pun sudah dianggap rubbish. Itu yang kedua. Ketiga, ini adalah lewat jalan langsung, intentional. Intension itu bahasa Latin untuk memasukkan. Jadi kalau saya bangun pagi dan naik travel ke suatu tempat, itu saya memasukkan diri datang ke tempat tersebut. Itu adalah logika ketidaksengajaan, unintentionality. Pertarungan antara intentionality dan unintentionality itu masalah tersembunyi yang luar biasa. Itu tidak mudah juga. Tetapi harus ada orang yang masuk ke situ.

Saya akan masuk pada hal yang praktis saja. Yang terakhir contohnya pada aras teoretis, siapa sih itu manusia ekonomi? Kalau mereka memitoskan si homo ekonomikus, siapa sih itu sebenarnya? Coba dibongkar, karena itu mitos. Masa mitos mau dijadikan panduan ke depan? Kesimpulan sementara saya, itu tidak ada! Anda itu adalah homo ekonomikus, homo politicus, homo socialis, homo culturalis dan sebagainya. Tetapi, para neoliberal memutlakan homo oeconomikus sebagai kodrat paling dalam dari manusia. Tetapi, setelah saya lacak ke sana-sini, ternyata itu tidak lebih dari perangkat berpikir. Misalnya: kalau ada hidup setelah kematian, itu mengandaikan adanya Tuhan. Jadi, Tuhan itu diandaikan, padahal ada atau tidaknya kita tidak tahu. Sama juga dengan homo ekonomikus. Homo ekonomikus itu adalah sebuah pengandaian cara berpikir, apakah ada atau tidak, memang tidak ada! Tetapi kemudian itu dianggap sebagai kodrat manusia yang konkret. Itu kan kesalahan cara berpikir yang istilah gagahnya itu epistemicology fallacy—kekeliruan cara berpikir. Hal yang sangat menakutkan adalah seluruh praktik-praktik itu, dan jenis ilmu ekonomi yang dipelajari di universitas itu akan menciptakan homo ekonomikus, meskipun homo ekonomikus tidak ada. Itu yang sangat menakutkan. Kalau sebuah benda saya jatuhkan tanpa penahan apapun akan jatuh, apapun rumusnya. Itu grafitasi. Tetapi, meskipun homo ekonomikus itu tidak ada, jika praktik-praktik ilmu ekonomi di universitas menyatakan homo ekonomikus itu ada dan dikemukakan terus- menerus, pada akhirnya terbentuk juga.

Sekarang pada tingkat policy. Pertarungan riset dan advokasinya misalnya adalah bagaimana hak asasi sosial-ekonomi itu punya kesejajaran dengan sipil dan politik. Itu riset pada tingkat policy yang tidak mudah, karena mengandaikan level teoretis juga. Itu membutuhkan sebuah pembongkaran dari gagasan kita tentang kekuasaan, dan itu harus sampai pada tataran mendesakkan pada level policy.

Bagian terakhir tentang aksi. Riset-riset dalam hal aksi itu dalam iklim neoliberalisme sebaiknya diarahkan ke arah mana saja? Tadi saya sudah berargumen bahwa dengan atau tanpa restu pemerintah dan para investor, pada akhirnya ini (masyarakat) harus bergerak sendiri. Bahkan seringkali mengandalkan restu ini (pemerintah dan bisnis) tidak akan terjadi apa-apa. Kalau mereka membantu ya syukur, kalau tidak membantu, ya mereka memang tidak memiliki maksud untuk itu. Saya kasih contoh saja. Beberapa hari yang lalu Suara Ibu Peduli di Jakarta punya banyak sekali jaringan. Mereka memperbaiki sanitasi, pendidikan anak, pendidikan gizi dan sebagainya. Mereka datang pada saya. Mereka belajar kredit union. Nah, lalu diterapkan dengan tanggung renteng. Sekarang membengkak, kemudian mereka mendapat undangan untuk mendirikan di Bekasi. Tetapi itu tidak bisa dilakukan karena tidak punya modal. Karena itu mereka mendatangi saya untuk dihubungkan dengan beberapa jaringan yang mungkin bisa membantu menyediakan uang antara 50—100 juta yang akan kembali dalam waktu satu tahun. Orang-orang itu akan menjadi korban dari sebuah sistem modern. Kalaupun orang-orang itu akan berusaha, kemudian pergi ke lembaga keungan dia harus memberi jaminan. Maka bagaimana menciptakan formasi modal di masyarakat sendiri tanpa tergantung pada bank-bank konvensional yang memang menuntut kemelekhurupan sertifikat-sertifikat yang jelas sekali. Nah, itu tidak akan dilakukan oleh masyarakat kecil, yang bahkan melihat kertas pun seringkali sudah takut. Karena itu, harus dilakukan formasi modal di masyarakat sendiri. Tetapi, cukup pasti dari pengalaman-pengalaman itu, formasi modal saja tidak akan menyelesaikan masalah apapun juga jika tidak disertai trainning kewirausahaan. Maka kuncinya adalah, salah satunya pada tingkat aksi adalah formasi modal yang mungkin katakanlah kredit union ditambah enterpreneurship atau kewirasusahaan. With or withaut the blessing of the government dan the investor—dengan atau tanpa restu dari pemerintah dan penanam modal—pada akhirnya firmasi modal dan kewirausahaan harus dilakukan sendiri oleh mereka. Maka sampailah pada argumen yang terakhir itu begini kira-kira begini:

Kalau masalahnya adalah kredit union dan kewirasusahaan pada tingkat itu, bukankah itu juga menggunakan logika ekonomikus? Jawabannya, ya. Tetapi, ada perbedaan yang luar biasa besar antara jenis ekonomikus itu dengan ekonomikus dalam makna neoliberalisme. (Karena pandangan itu mungkin saya akan dituduh oleh beberapa kawan Marxis ortodoks: wah, kompromi). Kurang lebih argumen saya begini: masalahnya bukan pro-pasar atau anti-pasar, tetapi masalahnya adalah memilih antara pasar yang tertanam atau pasar yang tercerabut. Perhaps the choice is not between for or againts market economy, but rather between embaded market economy and disembaded market economy.




By : B. Herry-Priyono

Wednesday, December 26, 2007

KEBEBASAN BERAGAMA DILANGGAR

Di pagi buta itu, Kulman telah terjaga। Kulman dan penduduk Desa Manis Lor lainnya bergegas keluar rumah untuk menunaikan ibadah idul adha. Tetapi mereka tidak ke masjid. Idul Adha tahun ini adalah idul adha yang tidak biasa bagi penduduk Desa Manis Lor. Idul adha yang dirayakan dengan duka. Masjid-masjid mereka telah porak-poranda dan disegel oleh segerombolan penyerang. Jemaat Ahmadiyah dilarang beribadah di masjid yang mereka bangun sendiri.

Belum hilang betul trauma penghancuran pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampus al-Mubarak, Parung, Bogor, pada tahun 2005, kelompok terbesar Jemaat Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, kembali diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam। 8 rumah jemaat dihancurkan, 7 masjid dilempari dan coba dibakar (tiga di antaranya disegel oleh aparat), dan tiga orang harus dilarikan ke rumah sakit (satu di antaranya terkapar dengan luka tusukan).

Wapres Mengecam

Di tengah minimnya ketegasan pemerintah dalam menghadapi aksi-aksi anarkis ini, Wakil Presiden Yusuf Kalla mengeluarkan kecaman keras। “Harus segera dibuka segel-segel di tempat ibadah itu,” tegasnya di sela-sela penyerahan secara simbolis hewan kurban di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, 20 Desember 2007. Polisi, kata Kalla, harus berani mengambil sikap tegas terhadap mereka yang menghalang-halangi orang lain untuk beribadah.

Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Sepanjang tahun 2007, jemaat Ahmadiyah seluruh Indonesia juga memperoleh ancaman dan teror yang sama. Secara umum, menurut Hendardi, ketua Setara Institute for Democracy and Peace, tahun 2007 adalah tahun dimana kebebasan beragama banyak dilanggar. Sepanjang tahun ini, pelanggaran terhadap kebebasan beragama tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah, aparat keamanan, dan juga aparat peradilan. Setara mencatat bahwa sepanjang tahun 2007 terdapat 185 bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. 92 di antaranya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh negara (crime by commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis terhadap siapa saja yang dianggap sesat atau menyimpang. Sementara ada 93 pelanggaran yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pembiaran (crime by omission) terhadap tindakan kekerasan dan teror yang dilakukan pelbagai kelompok masyarakat (Koran Tempo, 19/12/2007).

Sejak Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok al-Qiyadah al-Islamiyyah, 4 Oktober 2007, kelompok ini menjadi sasaran amuk massa dan penangkapan yang dilakukan oleh aparat aparat negara. Al-Qiyadah kemudian menjadi kelompok keagamaan yang paling banyak menerima kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebanyak 48 kasus pelanggaran, kekerasan, penangkapan, dan penahanan yang menimpa anggota kelompok ini (Koran Tempo, 19/12/2007)। Kelompok lain yang banyak menerima pelbagai bentuk pelanggaran adalah Katolik dan Ahmadiyah.

Setiap menjelang perayaan Natal, jemaat Katolik harus terus waspada, karena teror silih berganti mereka terima. Sepanjang tahun 2007, jemaat Katolik mengalami pelanggaran sebanyak 19 kali, yang terbanyak adalah dalam bentuk penutupan tempat ibadah. Sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, 19 Desember 2007, mengeluarkan pernyataan bersama mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan yang akan merayakan hari Natal.

Meski jemaat Ahmadiyah hanya mengalami 15 kali bentuk pelanggaran, namun dampak kerugian yang mereka terima sangat besar। Pelanggaran yang diterima oleh kelompok ini tidak hanya berupa fatwa dan penyegelan tempat ibadah, melainkan juga penghancuran rumah ibadah, tempat tinggal, fasilitas sekolah, perkantoran, dan juga pengusiran dari lingkungan tempat tinggal. Sepanjang tahun kelompok ini mengalami pengusiran di Lombok, rumah dan masjid mereka dihancurkan dan dibakar. Hal yang sama terjadi di Tasikmalaya dan Kuningan, Jawa Barat. Jemaat Ahmadiyah di Lampung, Padang, dan Sulawesi Selatan juga bernasib sama. Pusat-pusat kegiatan Ahmadiyah di Jakarta dan Bogor juga tidak pernah luput dari ancaman.

Koordinator Kontras, Usman Hamid, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Manis Lor dan tempat-tempat lain itu adalah sebentuk pelanggaran HAM berat. “Ini tidak bisa dibiarkan, karena akan merusak tatanan berbangsa, “ujarnya pada konferensi pers yang digelar di Jakarta, 19 Desember 2007.

Dengan nada yang lebih keras, intelektual senior, M. Dawam Rahardjo, menghimbau agar kelompok-kelompok minoritas dan pro-demokrasi lainnya mengupayakan segala bentuk pertahanan diri. “Ahmadiyah, Katolik, dan siapapun yang diserang harus melakukan perlawanan. Organisasi semacam Garda Kemerdekaan harus diperkuat, karena negara toh belum memberikan perlindungan maksimal terhadap kelompok minoritas,” tegasnya.

10 Pedoman MUI

Tokoh-tokoh seperti M। Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Usman Hamid, Ahmad Suaedi, dan Musdah Mulia menyebut bahwa fatwa sesat yang kerapkali dikeluarkan oleh MUI menjadi pemicu utama aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh masyarakat dan aparat keamanan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Penyerangan-penyerangan terhadap kelompok al-Qiyadah dan jemaat Ahmadiyah dimulai setelah MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok itu. Direktur The Wahid Institute, Ahmad Suaedi, mengatakan, “masyarakat seolah menunggu fatwa sesat MUI untuk melegitimasi aksi kekerasan mereka.”

Di akhir tahun 2007, MUI kembali mengeluarkan fatwa tentang 10 kriteria aliran sesat. 10 kriteria aliran sesat ini sontak mendapat reaksi dari banyak pihak. Monthly Report The Wahid Institute menyebut bahwa dengan mudah sekelompok orang akan dinyatakan sesat karena fatwa ini (Monthly Report on Religious Issues, edisi 4, November 2007).

Meski banyak menuai kecaman, MUI berkilah bahwa kriteria aliran sesat itu adalah kebutuhan masyarakat. Dengan alasan kebutuhan itulah, pihak MUI merasa perlu menambah ruang gerak yang dengan demikian mengusulkan penambahan budget yang awalnya 16 trilyun menjadi 18 trilyun pertahun kepada pemerintah (Detik.com, 3/11/2007). Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan mengamini dan mengikuti langkah MUI tersebut। Menanggapi besarnya dana negara yang dikelola oleh MUI, seorang anggota Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika mengecam dan menyatakan tidak terima pajak yang ia bayarkan kepada negara harus dipergunakan oleh MUI untuk melakukan pemberangusan kelompok-kelompok minoritas.

Abdurrahman Wahid pernah mengusulkan agar pemerintah mencabut bantuan dana ke MUI sebesar 16 trilyun pertahun. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul penghancuran pusat kegiatan Ahmadiyah di Parung, Bogor tahun 2005. Koordinator lapangan aksi kekerasan waktu itu, Abdul Haris Umarella (yang biasa mengaku sebagai Habib Abdurrahman Assegaf) menyebut-nyebut fatwa MUI sebagai landasan moral mereka melakukan aksi kekerasan. Pada sebuah kesempatan, Kapolri, Jenderal Sutanto, bahkan menegaskan akan menindak tegas penganut dan aktor intelektual aliran yang dianggap sesat (Antara, 01/11/2007).

Tahun ini Kulman dan warga jemaat Ahmadiyah Manis Lor memang tidak bisa menggunakan masjidnya untuk beribadah. Mereka berharap tahun depan akan lebih baik dan ada upaya yang serius untuk menjamin kebebasan mereka untuk menganut keyakinannya masing-masing. Jika keadaan tidak kunjung berubah atau malah semakin memburuk, Kulman dan kebanyakan warga Ahmadiyah lainnya tampaknya harus mempertimbangkan usulan untuk meminta suaka ke negeri lain. Karena Indonesia tidak lagi sudi menerima kehadiran mereka sebagai warga negara.


By : Saidiman

Saturday, October 06, 2007

Mengenang Kritisisme Mahasiswa

Manusia telah diajari bahwa kebajikan tertinggi bukanlah untuk mencapai sesuatu, melainkan untuk memberikan sesuatu (Ayn Rand).

Mahasiswa selalu identik dengan kritisisme terutama ketika sejarah telah mencatatnya dalam membongkar kebobrokan rezim Seokarno dan Seoharto hingga menjatuhkannya. Di kandangnya sendiri (kampus) mahasiswa pun selalu tampak mengkritisi segala kebijakan dari pihak rektorat yang dianggap tak adil dan berbau KKN dan biasanya kritisisme mahasiswa mewujud dalam aksi protes dan demo.

Di manapun sebenarnya gerakan mahasiswa dengan kritisismenya merupakan bagian dari gerakan Kiri Baru. Gerakan Kiri Baru diprakarsai oleh para mahasiswa dan kelompok terpelajar dalam masyarakat modern di Barat awal 1960-an. Aspirasi dasar dari gerakan ini adalah counter modernization. Gerakan kiri baru lahir karena ketegangan antara kapitalisme Amerika dan Marxisme Rusia pasca perang dunia II. Dalam pandangan Kiri Baru, kedua kekuatan tersebut sama-sama memliki kepentingan terhadap masyarakat dunia untuk mewujudkan sistem masyarakat sesuai dengan misi ideologis masing-masing, egoisme keduanya tersebutlah yang ditolak oleh Kiri Baru.

Istilah Kiri Baru atau The New Left diperkenalkan kali pertama dalam majalah The New Left Review (1959) yang dikelola kelompok Marxis-Liberal. Nama tersebut diberikan oleh sosiolog Amerika, C. Wright Mills tahun 1958. Kiri Baru berlawanan dengan Kiri Lama, yaitu partai-partai komunis (Marxisme-Leninis) dan partai sosial demokrat di Barat. Kiri juga dipertentangkan dengan Kanan, yaitu mereka yang mempertahankan sistem dengan cara konservatif; dan ternyata orang-orang Kanan terdapat dalam kubu kapitalis maupun komunis. Sedangkan Kiri, menurut Mills adalah kritik terhadap struktur aktual masyarakat. Dalam pandangannya, menjadi Kiri berarti melibatkan diri dalam kritik politis, baik dalam hal tuntutan-tuntutan politis maupun program-program.

Dari sisi kritiknya, Kiri Baru sangat antibirokrasi dan teknologi. Gerak kritik mereka pun beragam, mulai kritik terhadap konsumerisme, pola hidup borjuis modern, demokrasi semu, sampai gerak balik proses demokrasi itu sendiri (gerakan kembali ke alam). Gerakan ini sebagaimana awalnya terdiri dari kalangan terpelajar di kampus-kampus.

M. Theodori membagi Kiri Baru menjadi tiga tahapan pergerakan, (1) ditandai dengan komitmen moral, keprihatinan individu, kesaksian pribadi akan perdamaian, kebebasan mimbar dan hak-hak sipil, (2) tahap gerakan sporadis tersebut menjadi gerakan kolektif berdasarkan cita-cita demokrasi partisipatoris dan diolah dalam program aksi massa, dan (3) tahap perjuangan mencari kekuasaan politis. Di samping itu James O'Brien menambahkan tahap keempat, yaitu tahap revolusioner sebagaimana gerakan antimilisi dan gerakan hitam bergerilya menentang pemeritah pada tahun 1968 s.d 1970-an di Amerika Serikat.

Merujuk tahapan tersebut, maka gerakan Kiri Baru mahasiswa Indonesia pada setiap tahapnya sudah menunjukkan ketidaksinkronan. Pada tahap awal saja belum terlihat komitmen moral aktivis mahasiswa dalam memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, mereka masih takut ancaman DO dari universitas. Terlebih pada mahasiswa awam, keprihatinan individu terhadap problem dan realitas sosial belum muncul, sebaliknya mereka justru terlena dengan borjuisme dan konsumerisme -suatu yang harus dilawan sebenarnya. Di kampus, perjuangan mereka juga belum sampai pada perwujudan mimbar bebas dan minim advokasi hak-hak mahasiswa. Melihat hal tersebut, bagaimana mungkin gerakan mahasiswa di Indonesia bisa diharapkan berperan lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat dan kontrol pemerintah.

Pada tahap penyatuan menjadi gerakan kolektif jelas hal tersebut bagaikan utopia belaka, karena bagaimanapun juga landasan, paradigma, orientasi, dan tujuan masing-masing individu berbeda -karena belum selesai pada tahap pertama- demikian juga pada level institusi. Contoh nyata adalah, antara PMII dan KAMMI apalagi Gema Pembebasan jelas berbeda -ini jika mengandaikan bahwa semua gerakan mahasiswa adalah gerakan Kiri Baru, karena beberapa persamaan di antara mereka. Perbedaan tersebutlah yang menjadikan mereka saling sikut dan mendahului terkadang dengan cara tidak fair (kotor) terutama pada level ketiga yaitu dalam perjuangan mencari kekuasaan politis. Inilah dilema gerakan mahasiswa pasca reformasi di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, Kiri Baru pada dasarnya merupakan perkembangan pemikiran Marxis di Barat, oleh karenanya mereka di dukung oleh teori-teori revolusioner dan gagasan mereka erat dengan pandangan-pandangan kiri Mazhab Frakfurt, terutama Herbert Marcuse dan Erich Fromm. Mereka menaruh harapan pada kelompok cendekiawan sebagai the agent of historical transformation. Itulah sebabnya mengapa mahasiswa sering dikatakan sebagai agent of social control dan social change serta oposisi permanen pemerintah.

Di Barat radikalitas Kiri Baru mahasiswa dicirikan dengan, (1) ingin mengubah sistem universitas yang dalam pandangan mereka terkait sistem kaptalis modern yang manipulatif, mereka memprotes dosen liberal dan berbagai kegiatan kampus yang membawa style borjuis (party, festival, dan lainnya), (2) berhubungan dengan masyarakat sekitar yang diperjuangkan adalah pembebasan rakyat kecil yang menjadi korban struktur sosial yang tidak adil, dan (3) gerakan universal bagi kaum miskin tanpa memandang asal suku, agama, dan ras. Hal yang sama menjadi ciri gerakan mahasiswa di Indonesia, gerakan yang sampai ke masyarakat langsung lebih banyak didominasi oleh gerakan Kiri Baru dari NGO-NGO (Non Government Organization-Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM]), lembaga independen lainnya, dan masyarakat kecil lainnya berbasis pada problem lokal. Di Indonesia hanya sedikit dari gerakan mahasiswa yang sudah menyentuh wilayah pembebasan rakyat kecil, paling banter mereka hanya sebatas memberikan sumbangan dan demo di jalan. Sedikit yang sudah terjun ke masyarakat, tetapi sayangnya merupakan organisasi underbow partai tertentu yang jelas mempunyai tujuan politis lebih besar. Rata-rata gerakan mahasiswa masih pada tahap menata kandangnya sendiri di kampus-kampus, ironisnya itu pun dengan setengah hati.

Walaupun begitu sifat gerakan Kiri Baru tak hanya politis praktis, melainkan juga sosio-ekonomis. Pada tahun 1966 di Amerika gejala tersebut mewabah dalam bentuk the youth culture, counter culture, dan counter institution. Mereka menganggap bahwa kebudayaan modern telah membusukkan kemanusiaan melalui teknologisasi dan birokratisasi. Mereka cenderung setuju apa yang dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau dengan semboyannya retournons a la nature (kembali ke alam/back to nature). Menuju keberhasilan perjuangannya, Nigel Young (1977) mensyaratkan lima kriteria, (1) melaksanakan aktivitas revolusioner terselubung dengan bersikap kritis terhadap norma dan definisi yang diberikan penguasa dan kelasnya. Mereka harus terus mencari kontra norma dan kontra definisi dari kenyataan sosial yang ada, (2) menempatkan perjuangan revolusioner ini pada kelompok masyarakat yang dilawan, (3) harus berkonfrontasi atas sistem nilai yang berlaku dengan mencari kontradiksinya dalam praktek hingga dapat membuka selubung kepentigan di baliknya, (4) harus menawarkan pengalaman hidup alternatif baik secara sosial maupun individual, dan (5) harus mengkonkretkan pandangan teoritis dan pengalaman hidup alternatif mereka dalam pranata dan proyek baru.

Berdasar pada prasyarat tersebut, gerakan mahasiswa di Indonesia ternyata lebih bercirikan gerakan politis daripada ekonomi dan kultural. Beberapa aktivis yang mencoba merambah wilayah terakhir tersebut pun menemui kendala yang tidak sedikit, mulai dari lemahnya syahwat intelektual sampai minimnya pendanaan. Hal inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai bagian gerakan Kiri Baru serasa tidak membumi dan belum mengena wilayah praksis masyarakat. Gerakan kultural Kiri Baru masih banyak yang sekadar wacana belaka.

Sementara itu, Sargent (1981) mencoba mengidentifikasi gerakan Kiri Baru ini dalam tujuh nilai dasar, yaitu: (1) Praksis. Gerakan Kiri Baru lebih mementingkan praksis daripada teori. Pandangan ini dipengaruhi oleh Neo-Marxisme yang mengatakan bahwa praksis mendahului refleksi teoritis, dan praksis revolusioner harus diterangi teori. (2) Jati diri (authentic self), penakanan penemuan jati diri dalam gerakan ini dipengaruhi filsafat eksistensialisme yang dirintis Jean-Paul Sartre. Filsafat ini kritis terhadap norma dan mencanangkan kebebasan individu yang mendekati taraf absolut dengan mengutamakan kehendak individu. (3) Komunitas. mereka mengidamkan komunitas yang menjadi wahana interaksi secara efektif. Pemikiran tentang komunitas ini banyak diberikan oleh Erich Fromm setelah kritiknya terhadap modernitas sebagai masyarakat yang tak sehat. (4) Persamaan. Gagasan ini dipengaruhi pemikiran sosialis Marxis di Barat yang mengidealkan persamaan dalam pelbagai bidang, mulai dari ekonomi sampai penghapusan kelas sosial. (5) Kebebasan. Dalam lingkup pendidikan mereka memperjuangkan universitas bebas, sekolah bebas, perkumpulan mahasiswa bebas; dalam masyarakat mencita-citakan klinik bebas, toko bebas, dan lainnya. Pandangan ini dekat dengan gagasan anarkisme yang diusung Ivan Illich dalam pendidikan. (6) Demokrasi partisipatoris. Mereka mengarah pada demokrasi langsung ala Rousseau. (7) Revolusi. Dalam hal ini, Nigel Young mengatakan bahwa Kiri Baru merupakan perpaduan model revolusi Marxisme klasik, Leninisme, dan Maoisme yang diolah dengan gagasan Che Guevara, Fidel Castro, dan Debrai. Akhirnya revolusi menurut mereka identik dengan kekerasan semacam kudeta berdarah. Di lain tempat, gagasan Mazhab Frakfurt adalah anti kekerasan sebagaimana diusung Herbert Macuse. Dalam perjalanannya, gerakan revolusi kekerasan telah menjadi salah satu sebab memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat.

Memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat pada awal 1970-an menurut D. Schon adalah karena tidak jelasnya bentuk gerakan. Aksi protes dan demonstrasi mereka sering tidak mendapat tanggapan penguasa, di samping itu mereka juga tidak mampu menggalang kekuatan karena struktur organisasi yang tidak jelas. Akibatnya Kiri Baru dikatakan lebih sebagai mood daripada movement, Nigel Young menyebutnya sebagai suatu revolusi kekanak-kanakan dari mahasiswa marah yang kekiri-kirian. Di Barat, gerakan ini semakin dikuasai emosi-emosi mereka; menjadi militan dan diresapi oleh kebutuhan akan utopia-utopia religius. Kecenderungan ini semakin memperkuat sayap kanan yang koservatif dan melemahkan Kiri Baru. Kini Kiri Baru di Amerika terpecah menjadi sekte berbau keagamaan yang menjadikannya tidak relevan dari arus Kiri Baru semula. Dengan sejarah yang berbeda, gerakan Kiri Baru pada mahasiswa Indonesia juga mengalami militansi dan mengarah pada gerakan utopia religius.

Young mengidentifikasi bahwa krisis identitas dalam gerakan Kiri Baru di Barat terjadi faktor internal berupa keterbatasan ideologi, strategi, analisis, leadership; sedangkan faktor eksternal adalah karena belum dapat menempatkan diri dalam gerakan di dunia ketiga dan pengaruh pemikiran Marxisme-Leninisme. Di Indonesia masalah yang sama juga terjadi. Kiri Baru sekarang masih ada yang dapat mengembangkan dirinya dalam bentuk gerakan feminisme, gerakan antinuklir, gerakan ekologi, keadilan gender, yang caranya lebih disesuaikan dengan keadaan.

Memudarnya gerakan Kiri Baru seolah meneguhkan tesis Francis Fukuyama dalam The End of History-nya bahwa sejarah telah berakhir dan pemenangnya adalah Kapitalis-Liberalis. Namun jika ditinjau lebih mendalam sebenarnya yang memudarkan gerakan ini adalah adanya problematika yang besar pada prinsip nilai mereka. Misal revolusi yang mengandaikan jebolnya tatanan lama dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru adalah hal yang tak mungin. Pun dalam demokrasi partisipatoris hanya dapat diterapkan dalam masyarakat kecil, bukan masyarakat besar seperti sekarang.

Problematika pada gerakan mahasiswa yang belum tuntas pada level filosofis tersebut berimbas pada gagapnya praksis gerakan di lapangan. Sekarang hanya ada satu dua letupan demonstrasi mahasiswa, itu pun tidak didengarkan pemerintah. Dan agaknya masyarakat sekarang mulai berani melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Inikah buah keberhasilan gerakan Kiri Baru yang di Indonesia dibawa oleh mahasiswa? Jika sudah berhasil buat apa gerakan mahasiswa? Ibarat lahan garapan mahasiswa dalam menyadarkan dan memberdayakan sudah selesai karena masyarakat sebagian besar sudah sadar, lalu hal apa lagi yang harus digarap mahasiswa? Jangan terlena dengan pernyataan ini, masih banyak hal yang belum selesai diperjuangkan. Apa yang disuarakan oleh masyarakat yang berani demonstrasi hanyalah pucuk dari gunung es problematika yang belum terlihat. Berpijak pada paradigma kritis, maka banyak hal yang harus disingkap selubung ideologis dan kepentingannya dalam masyarakat yang menindas.

Berkaca pada problematika gerakan mahasiswa yang diletakkan sebagai varian gerakan Kiri Baru di atas, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tidak usah muluk-muluk, mungkin kita perlu diskusi santai dulu, sambil ngopi dan menikmati gorengan agar otak bisa cair dan mencari alternatif solusi pemecahan masalah. Kelemahan mahasiswa pada pemahaman istilah semisal Kanan, Kiri, Liberal, Pluralisme, Sekularisme, Demokrasi, Kritisisme, dan lainnya tampaknya harus digugat; biar semuanya mau berkaca dan membaca serta berdiskusi, agar tak saling hujat dan lebih bijak. Karena pada level mahasiswa bukankah tugas utamanya dalam konstruksi transformasi sosial adalah pada pembentukan paradigma berpikir dan character building (?)

By : Edi Subkhan

Wednesday, October 03, 2007

PANDANGAN ESENSIALISTIK, A-HISTORIS DAN INKONTEKSTUAL TENTANG KEBUDAYAAN

Bagi saya, tidak ada kata terlambat untuk mengkaji sejarah pemikiran. Apalagi, "polemik kebudayaan" yang terjadi pada 1930-1938 merupakan refleksi atas sejarah kita sendiri, sejarah bangsa Indonesia. Perbincangan kita tentang "polemik kebudayaan" tak ubahnya seperti kita mengkaji Heidegger, Hegel, Kant atau bahkan Aristoteles dan Plato yang proses produksi pemikirannya sangat jauh dari kita dari segi jarak waktu.

Selain itu, perbincangan tentang "polemik kebudayaan" yang kita lakukan tentu saja harus dilandasi oleh motivasi untuk melakukan pembacaan produktif sehingga kita bisa menariknya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita sendiri di masa kini dan masa depan. Terlebih, menurut hemat saya, perbincangan ihwal masalah kebudayaan Indonesia hingga saat ini masih perlu dilakukan,karena proses integrasi kebudayaan yang ada ruang yang (demikian, kata Ben Anderson) dinamakan atau dikhayalkan sebagai Indonesia belum sepenuhnya tercapai. Apa yang selama ini terjadi bukan integrasi kebudayaan sebagai titik-tolak untuk menjalani kehidupan bersama, melainkan (meminjam istilah Geertz) involusi kebudayaan di mana satu unsur kebudayaan melindas kebudayaan lainnya. Bagaimana, misalnya, kita meletakkan berbagai warisan-warisan kebudayaan dari tradisi lokal, tradisi India, Arab, Cina dan Eropa yang hingga kini masih berbentuk gugusan (seperti dikatakan Lombard) "nebula mental" yang dalam kadar tertentu saling mengekslusi satu sama lain?

Kalau kita mencermati kembali watak dasar dari artikulasi gagasan dalam "polemik kebudayaan" itu, maka akan tampak cara pandang yang sangat esensialistik, a-historis dan tidak kontekstual dalam melihat kebudayaan; disebut esensialisik karena satu kebudayaan dipandang memiliki hakikat yang monolitik, tidak ada variasi-vasriasi di dalamnya; pandangan esensialistik ini juga terkait erat dengan cara pandang a-historis dan tidak kontekstual, karena melihat kebudayaan sebagai being, bukan becoming. Padahal, kebudayaan sejatinya dipandang sebagai satu hal yang senantiasa berproses, diproduksi dan direproduksi dalam lintasan ruang dan waktu. Cara pandang esensialistik, a-histois dan tidak kontekstual tampak dalam pandangan kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) ataupun lawan-lawan polemiknya semisal Sanusi Pane.

STA, misalnya, berpandangan bahwa:
"Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya, hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas. Maka, telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropa, Amerika, Jepang. Demikian saya berkeyakinan bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat."

Bagi STA, kebudayaan Timur bersifat statis makanya mati, sementara kebudayaan Barat bersifat dinamis makanya terus eksis dan menguasai dunia. Karenanya, di mata STA, Indonesia sebagai bagian dari Timur harus mengganti kiblatnya ke Barat ahar bisa bangkit dan mensejajarkan diri dengan masyarakat Barat. Demikian, "Timur" dan "Barat" dipandang sebagai hakikat yang monolitik.

Sementara itu, Sanusi Pane juga takalah esensialistiknya dalam melihat kebudayaan. Ia misalnya mengatakan:

"Barat… mengutamakan jasmani sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani. Timur mementingkan rohani sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila."

Demikian, Sanusi Pane memang memandang bahwa sesuatu yang ideal adalah "menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan kolektivisme." Sungguhpun begitu, sangat tampak kecenderungan Sanusi Pane untuk mempercayai bahwa "Timur lebih baik" karena "materialisme, intelektualisme dan individualisme"-yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan ("ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan". Karenanya, Sanusi Pane jelas lebih memilih Timur ketimbang Barat sebagai acuan kebudayan Indonesia di masa depan.

Kalau kita membaca karya-karya tentang sejarah Nusantara yang ditulis, misalnya, oleh Denys Lombard, Anthony Reid, MC Ricleft, Sartono Kartodirdjo atau Kuntowidjoyo, maka akan tampak bahwa warisan kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa serta tradisi lokal yang sebelumnya telah ada di Nusantara, satu sama lain saling berkelindan sebagai respon atas situasi aktual, baik itu bersifat politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Respon-respon yang diartikulasikan oleh orang-orang yang terlibat di dalam terlibat dalam berbagai proses kehidupan kongkrit tersebut tampak sangat beragam dan kontekstual. Pada gilirannya, respon-respon tersebut memproduksi beragam konstruksi kebudayaan baru yang saling berlainan, satu dengan lainnya. Kajian-kajian sejarah tersebut jelas bertolak belakang dengan pandangan STA dan Sanusi Pane tentang apa yang disebut sebagai kebudayaan Timur dan Barat.

Kita bisa ambil contoh kehadiran agama atau budaya Islam dalam proses-proses sosial yang terjadi di hampir seluruh wilayah Nusantara, khususnya kehadiran Islam pada abad ke-15 hingga ke-17. Dalam kurun dua abad ini, terjadi transformasi berskala luas dan besar dalam berbagai bidang kehidupan di kepulauan Nusantara. Pada masa-masa ini, Nusantara terlibat dalam suatu era baru yang oleh Anthony Reid disebut sebagai era perniagaan global. Volume dan nilai perdagangan semakin meningkat pesat, terutama komoditas cengkeh, pala, lada, kayu cendana, batu bezoar, teripang, kapur barus dan kemenyan. Di wilayah pesisir, mulai bermunculan kota-kota pelabuhan baru, terutama di wilayah Sumatera bagian utara dan pesisir utara Pulau Jawa. Selain itu, era perniagaan global ini juga telah mengubah bagian timur Nusantara menjadi wilayah yang sangat penting dengan pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan sebagai katalisatornya. Dalam bidang politik, terutama di wilayah pesisir tersebut, kaum bangsawan yang sekaligus berprofesi sebagai saudagar semakin memiliki pengaruh yang sangat besar. Terakhir, era perniagaan global ini telah membawa Nusantara ke dalam arus besar proses Islamisasi yang luar biasa.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari proses perubahan secara besar-besaran dalam apa yang oleh Denys Lombard disebut dengan jaringan Asia beberapa abad sebelumnya. Pada abad ke-13, para elite Mongol yang telah masuk agama Islam disinyalir berperan besar dalam upaya mendorong Kubilai Khan yang baru saja menduduki singgasana Kekaisaran Cina untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi laut ke wilayah Jepang, Campa, Vietnam, dan Jawa. Di dalam berbagai ekspedisi tersebut, tidak sedikit orang-orang Cina Selatan yang ikut serta sebagai pelaut, serdadu dan pedagang. Banyak di antara mereka yang sudah beragama Islam. Peran orang-orang Cina Muslim ini tidak berkurang hingga beberapa periode berikutnya. Bahkan, dari 1405 sampai 1453, ketujuh pelayaran besar armada Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke arah pelabuhan-pelabuhan Nusantara dan Samudera Hindia, sampai ke Srilangka, Quilon, Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Mogadisco dan Malindi, menunjukan betapa besar kiprah orang-orang Cina Muslim dalam perniagaan laut tersebut. Laksamana Zheng He sendiri adalah Muslim, anak seorang haji dari Yunan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, India, terutama di bagian pesisir, juga telah mengalami proses Islamisasi. Suku Turki Ibari dan suku Afghanistan Khiliji berhasil memperkuat Kesultanan Delhi di utara. Berikutnya, Muhammad bin Tughluk (1325-1351) memindahkan perbatasan kesultanan ke selatan sampai daerah aliran sungai Kaveri dan mendirikan ibu kota Daulatabad di mana hampir seluruh wilayah India berada di bawah kekuasaannya. Setelah penyerangan Timur Leng yang menghancurkan Delhi (1398-1399), kekaisaran Tughluk terpecah-belah ke dalam beberapa kesultanan. Di antaranya adalah Bengali dan Gujarat yang kemudian mengalami kemajuan pesat di bawah pemerintahan Ahmad Shah (1411-1441) dan Mahmud Baikara (1458-1511). Sementara itu, bangsa Bahmanid Syiah juga berhasil mendesak Kerajaan Vijayanagar Hindu di daerah Dekan. Pada masa-masa ini, orang-orang India Muslim dikenal sebagai pengendali kegiatan perdagangan dengan negeri-negeri Arab, Ormuz dan Maladewa.

Dengan demikian, selama dua abad, Samudera Hindia menjadi arena perniagaan besar yang hampir sepenuhnya bernuansakan Islam. Di dalamnya, orang-orang dari Cina, India dan Arab secara bersama-sama menghidupkan jaringan Asia yang, tidak saja bergerak dalam kegiatan jual-beli, tapi juga proses Islamisasi yang sangat bersemangat. Lagi-lagi, keberadaan jaringan Asia yang merentang dari wilayah Maghribi sampai Timur Jauh ini seolah-olah memberikan pembenaran atas tesis Weberian yang menyatakan bahwa perubahan di bidang keagamaan memiliki hubungan ellective affinity (konsistensi logis, bukan sebab-akibat) dengan perubahan di bidang sosial, ekonomi dan politik.

Sebagai bagian tak terpisahkan dari jalur perdagangan dalam jaringan Asia ini, Nusantara—dan juga Asia Tenggara secara umum—seperti tidak mau ketinggalan untuk mendapatkan berkah di era perniagaan global tersebut. Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok sosial baru bermunculan dengan modal bergerak sebagai harta kekayaannya. Semangat kosmopolitanisme dunia perdagangan juga telah membentuk mentalitas elite-elite di sekitar pelabuhan ini sangat berbeda mentalitas para bangsawan dalam kerajaan-kerajaan lama di pedalaman. Selain itu, sektor-sektor ekonomi berbasis perdagangan tersebut dengan sendirinya memisahkan atau bahkan menciptakan otonomi kota-kota pesisir dari kekuasaan ibu kota-ibu kota lama yang basis perekonomiannya lebih disandarkan pada sawah dan sistem pertanian. Pada akhirnya, di bandar-bandar pelabuhan laut ini terbentuklah suatu tatanan politik baru berbentuk kesultanan. Pada abad ke-13, Samudera Pasai telah menjadi kesultanan Islam pertama di ujung utara pulau Sumatera yang kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lainnya di seluruh Nusantara beberapa periode setelahnya.

Merujuk kepada Anthony Reid, ahli sejarah asal Australia, terdapat empat faktor penting yang menandai munculnya era perniagaan global di Nusantara secara khusus dan Asia Tenggara secara umum.

Pertama, kemajuan perniagaan. Pada sekitar 1390-an, tidak kurang dari enam metrik ton cengkeh dan satu setengah metrik ton pala asal Maluku telah berhasil membanjiri pasar Eropa dalam setiap tahunnya. Satu abad kemudian volume perdagangan meningkat menjadi 52 ton cengkeh dan 26 ton pala. Sementara rempah-rempah dari Nusantara di bawa melintasi Samudera Hindia oleh para saudagar Muslim dari berbagai negeri ke pasar-pasar Mesir dan Beirut untuk kemudian dibeli oleh para pedagang Italia, terutama saudagar dari Venesia. Hal ini terus berlangsung hingga abad ke-17 di mana Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Spanyol, Portugal dan India berlomba-lomba untuk membeli produk-produk dari kawasan Nusantara berupa lada, cengkeh, pala, kayu manis, kayu cendana, pernis, sutera dan kulit rusa. Selain sebagai konsumen, mereka datang ke Nusantara juga disertai dengan penjualan barang-barang seperti kain, perak dan sebagainya.

Kedua, teknik-teknik baru militer. Kedatangan bangsa-bangsa asing menawarkan teknologi kemiliteran yang dibutuhkan oleh para pemimpin politik di wilayah Nusantara untuk memperkuat dan mengakumulasikan kekuasaannya. Orang-orang asal Portugis, Turki, Gujarat, Jepang dan Spanyol adalah pihak-pihak yang berhasil menjajakan teknologi kemiliteran di Nusantara berupa senjata api, meriam, kapal perang dengan daya kecepatan tinggi dan pembuatan benteng sebagai teknik pertahanan. Teknologi baru dalam bidang kemiliteran ini telah membantu Demak menjadi kerajaan terkuat di Jawa pada masa Sultan Trenggana (1520-1551) serta mendorong Aceh dan Makassar untuk memperkokoh kekuatannya sehingga berhasil memunculkan kekuasaan terpusat pada awal abad ke-17.

Ketiga, negara baru. Pada masa-masa sebelumnya, Nusantara dikenal sebagai wilayah yang ditandai dengan pluralisme kekuatan politik di mana negara-negara bangkit dan runtuh dalam jangka waktu yang realtif singkat. Namun, munculnya era perniagaan global dan teknik-teknik baru di bidang kemiliteran telah membawa perubahan signifikan bagi lahirnya negara-negara baru yang relatif kokoh dan terpusat. Demikian, Melaka, Gresik, Ternate, Makassar, Banten dan Aceh muncul sebagai negara yang memusat di mana pusatnya terletak di pusat perniagaan di wilayah pesisir laut. Pada gilirannya, keuntungan-keuntungan di bidang perniagaan ini memberikan timbal-balik bagi terakumulasinya kekayaan negara sehingga mampu menciptakan pasukan militer yang kuat dan berteknologi tinggi yang mampu menopang stabilitas negara-negara pesisir tersebut.

Keempat, ortodoksi agama kitabiah. Kemunculan era perniagaan global jelas-jelas membutuhkan kerangka nilai yang sesuai di mana animisme dan dinamisme (dalam kadar tertentu juga Budhisme dan Hinduisme) tidak lagi dianggap memadai. Sebab, ajaran-ajaran yang berorientasi kepada stagnasi dan kejumudan tersebut tidak bisa memberikan dukungan acuan-acuan normatif yang melegitimasi dinamika cepat pada era perniagaan global. Karenanya, Islam muncul sebagai alternatif untuk memberikan kerangka nilai bagi perubahan-perubahan yang terjadi seriing dengan kemunculan era perniagaan global. Proses Islamisasi kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatra, Melaka dan Sulawesi merupakan bukti nyata yang menandai proses perubahan besar-besaran di wilayah ini.

Menurut hemat saya, terdapat beberapa hal yang bisa kita dapat dari kajian-kajian sejarah tersebut.

Pertama, agama dan budaya Islam yang dihadirkan di Nusantara tidak bersifat monolitik. Sebab, para pembawa Islam tersebut ada yang datang dari Yaman, Parsi, Turki, India dan Cina. Tentu saja, corak keislaman yang dibawa oleh masing-masing kelompok pedagang ini berbeda-beda karena sebelumnya telah direformulasi berdasarakan situasi dan kondisi yang ada di negerinya masing-masing.

Kedua, pandangan esesnialistik tentang Timur yang statis dan mistis, baik dari STA maupun Sanusi Pane, jelas sangat keliru. Nyatanya, jauh sebelum munculnya perniagaan secara besar-besaran di wilayah Eropa yang kemudian menjadi cikal-bakal kapitalisme modern, Nusantara (juga Asia Tenggara dan Asia pada umumnya) telah mengalami dinamika kehidupan, baik dalam bidang, ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Ketiga, ketika agama atau budaya Islam hadir di Nusantara, maka Islam tersebut diformulasikan atau ditransformasikan secara berbeda-beda oleh setiap masyarakat yang ada di Nusantara. Misalnya, kita tidak akan bisa menampik bahwa bentuk Islam di Demak dengan Mataram sangatlah berlainan. Begitu pula dengan Islam di Aceh. Hal yang sama juga terjadi di Sulawesi di mana Gowa, Tallo, Luwuk, Sopeng, Wajo dan Bone memiliki formulasi keislaman yang berbeda-beda.

Selain itu, STA dan Sanusi Pane juga alpa bahwa dinamisme Islam di Nusantara mulai meredup karena kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang memaksakan dirinya sebagai the other bagi kebudayaan Islam di Nusantara melalui upaya monopoli perdagangan dengan menggunakan kekuatan politik dan militer. Secara militer, kekuatan Eropa (yang di dalamnya juga memiliki unsur-unsur yang berlainan: Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol) sebenarnya tidak memiliki kelebihan yang signifikan di banding kekuatan yang dimiliki oleh kesultanan-kesultanan di Nusantara. Namun, justeru pertikaian antara sesama kesultanan itulah yang dimanfaatkan oleh Belanda khususnya untuk mengambil dominasi dengan menjalankan politik belah-bambu (Mataram vs. wilayah pesisir utara pulau Jawa; Gowa-Tallo vs Bone; dsb).

Ketika Belanda berhasil membentuk Pax-Nederlandica di Nusantara, maka muncul dominasi kebudayaan oleh Belanda atas kebudayaan-kebudayaan lokal yang telah ada sebelumnya. Kita bisa lihat, misalnya, dalam proses formasi nalar atau budaya politik Nusantara, Belanda cenderung mewariskan cara-cara berpolitik yang otoriter dan absolutis (tidak ada pembagian kekuasaan, tidak ada pengakuan hak-hak sipil, tidak ada otonomi daerah, dsb). Pada gilirannya, budaya politik semacam inilah yang diwarisi oleh Indonesia paska-kolonial sehingga kemudian muncul rezim politik yang otoriter dan absolutis sebagaimana terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Dalam konteks inilah, kita perlu mempertanyakan kembali asumsi-asumsi atau cara pandangan tentang kebudayaan dengan cara yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh STA dan Sanusi Pane. Bagaimana kita seharusnya memahami gugusan kebudayaan yang ada hingga saat ini di Indonesia? Bagaimanakah kita mengatasi involusi kebudayaan yang masih terjadi hingga saat ini?


By :
Iqbal Hasanuddin